Mungkin karena sikapku yang makin hari makin berani, ibu
memintaku untuk mengikuti sekolah agama di dekat rumah agar sikapku menjadi
lebih baik lagi (tidak terlalu berani untuk berbuat). Mau tidak mau aku pun
mengikuti permintaan ibuku dan mulai mengikuti sekolah agama di madrasah di
dekat rumahku, walaupun malas rasanya karena sekolah agama itu dimulai pada
bada ashar atau sekitar jam setengah 4 sore sampai jam 5 sore yang secara
otomatis mengganggu jam mainku bersama teman-teman.
Pada hari pertamaku di sekolah agama, aku meminta ibu
menemaniku saat sekolah agama dan ini berlanjut sampai seminggu aku sekolah
agama dan akhirnya ibu tidak menemaniku lagi pada saat aku sekolah agama. Mulai
dari minggu kedua aku mulai mempunyai beberapa teman di sekolah agama itu dan
mulai merasa nyaman disana, namun masih saja hasrat ingin bermain selalu ada di
benakku yang membuat aku mulai memikirkan untuk bolos sekolah agama dan bermain
bersama teman-temanku yang tidak mengikuti sekolah agama di tempat aku
mengikuti sekolah agama sekarang, bukannya teman-temanku yang biasanya bermain
denganku ini tidak sekolah agama tapi mereka mengikuti belajar mengaji yang
diadakan di tempat lain yang jadwalnya dimulai malam hari yaitu bada isya
sekitar jam 7 malam sampai jam 8 malam.
Setelah hampir dua minggu mengikuti sekolah agama itu aku
benar-benar mulai bosan sampai pada akhirnya ketika aku hendak berangkat menuju
madrasah tempat biasa aku sekolah agama ada seorang teman dekatku namanya Rian,
dia merupakan orang yang selalu diandalkan menjadi kiper apabila aku dan
teman-temanku bermain bola melawan anak-anak dari desa sebelah. Dan terjadilah
percakapan diantara kami :
·
Rian : “rur !!!!!” menyapaku sambil menghampiriku
·
Aku : “woy ??”
·
Rian : “kemana aja kamu kok jarang main ke
lapangan sekarang ?” sambil memperhatikan pakaianku
·
Aku : “sekarang kan aku ikut sekolah agama di
madrasah jadi kalo sore gak bisa main ke lapangan lagi” jawabku sambil berjalan
kembali menuju madrasah
·
Rian : “nanti jam 4 ada anak-anak dari sesa
sebelah yang menantang tanding sepak bola di lapangan biasa” berlari ke arah
lapangan
“waduh bagaimana ini aku ingin sekali ikut bermain melawan anak-anak dari kampong
sebelah tapi aku juga harus sekolah agama” kata hatiku sambil meneruskan
langkah menuju madrasah. Sesampainya di madrasah aku terus memperhatikan jam
dinding yang ada di atas papan tulis, saat itu waktu menunjukan jam 4 kurang 15
menit , masih ada 15 menit sampai mereka memulai pertandingan sepak bola
tersebut.
Sempat aku kebingungan pada saat itu, tapi itu tidak
berlangsung lama dan aku memutuskan untuk pergi ke lapangan dan bermain bersama
teman-temanku, namun aku memerlukan alasan yang tepat untuk diberikan kepada
guru yang mengajarku agar aku dapat pergi ke lapangan.
Akhirnya aku menemukan ide agar bisa meninggalkan madrasah
dan menuju lapangan setelah aku melihat anak-anak yang lebih besar dariku dan
berbeda kelas denganku meminta izin kepada guru untuk pergi ke toilet karena
kebelet ingin buang air. Kemudian aku pun berfikiran untuk melakukan hal yang
sama tapi yang menjadi kendala pada saat itu adalah aku membawa tas yang tak
mungkin aku bawa ketika aku izin buang air ke toilet yang ada di luar madrasah.
Memang dasar mungkin pemikiranku dari kecil memang cepat merespon masalah yang
untuk mendapatkan penyelesaian dari masalah tersebut. Dan yang terlintas
dipikiranku pada saat itu untuk menitipkan tas kepada teman dan nanti apabila
sekolah agama sudah selesai aku akan mengambilnya kembali, aku pun menitipkan
tasku kepada Soni anak tetanggaku yang umurnya sedikit dibawahku mungkin
sekitar 5 -6 tahun. “Son nitip tas ya , nanti pulang sekolah agama aku ambil,
kamu tunggu di depan madrasah ya nanti aku jajanin kamu baso deh, aku mau pergi
ke lapangan nih” berusaha membujuk Soni agar bersedia membawakan tasku. “iya
rur nanti aku bawain tapi janji ya beliin aku baso colok pulang sekolah agama”
dengan muka kebingungan Soni mengatakan bersedia membawakan tasku. “mantap Son,
nanti kalo gurunya nyari bilang aja aku buang air di rumah ya” aku pun beranjak
menuju luar madrasah berpura-pura untuk buang air dan akhirnya berlari menuju
lapangan untuk ikut bermain bersama teman-teman.
Sesampainya di lapangan ternyata pertandingan baru saja
dimulai dan pada saat itu pemain yang diperbolehkan bermain hanya anak berusia
7 tahun kebawah, akupun menunggu dipinggir lapangan karena pemain yang bermain
di teamku sudah pas. Ketika dipinggir lapangan aku mendengar percakapan antara
beberapa orang dewasa yang menonton pertandingan ini, mereka sepertinya sedang
membicarakan taruhan uang di pertandingan ini . “wah om-om ini sepertinya
sedang berjudi” dalam hatiku sambil terus memperhatikan percakapan mereka,
setelah mendengar beberapa percakapan mereka aku semakin yakin bahwa mereka
sedang bertaruh pada pertandingan ini.
Babak pertama pun berakhir skor pada pertandingan tersebut
berimbang yaitu 3-3 aku pun mengahampiri teman-teman, “rur main ya gantiin aku,
aku cape nih” sambil menunjukan muka lelahnya. “ok” sautku bersemangat. Ketika
kami sedang berkumpul merencanakan strategi yang akan dipakai pada babak kedua
ada seorang orang dewasa yang tadi ku kuping pembicaraannya menghampiri kami
dan berbicara “ayo semangat mainnya harus menang ya nanti kalo menang saya
bikinin kaos team buat kalian”.
Kami pun bersemangat dan berjuang untuk memanangkan
pertandingan, aku yang saat itu masih menggunakan baju koko (baju busana
muslim) bermain dengan penuh semangat dan berhasil mencetak satu gold an
akhirnya kami pun menang. Kemudian orang yang tadi berjanji memberi kami kaos
team kepada kami menghampiri kami kembali dan berkata “ini buat kalian” dengan
muka yang Nampak senang dia memberi kami uang sebesar 200 ribu rupiah, dan Zaki
sebagai orang yang dituakan di team kami menerima uang itu dan mengajak kami
untuk pergi ke tempat jahit untuk memesan kaso team.
Ketika pertandingan sudah selesai waktu menunjukan pukul
17.05 , aku pun kaget dan meminta izin kepada teman-teman tidak bisa ikut ke
tukang jahit karena harus mengambil tasku yang tadi aku titipkan kepada Soni.
“aku duluan ya” aku pun berlari menuju ke madrasah untuk membawa tasku yang
telah aku titipkan kepada Soni. Sesampainya di madrasah aku kaget bukan main
karena melihat madrasah pada saat itu sudah kosong, tidak ada satu orang pun
yang berada disana dan aku pun masuk ke dalam madrasah untuk mencari tasku.
Ternyata tasku sudah tidak ada dan entah dimana keberadaannya, lalu aku
bertanya ke pada tukang baso yang ada di depan madrasah “mang , pada kemana ini
ko udah sepi sih ?” tanyaku , heran , “oh iya jang, yang sekolah agama udah
pada pulang tadi jam setengah 5 soalnya hari ini pulang lebih cepat karena
guru-guru ada pengajian di kecamatan” jawab tukang baso. Bingung bukan main aku
pada saat itu, entah kemana perginya si Soni ini terus udah mau jam setengah 6
sore juga ibu pasti nyariin aku kalo aku pulang tapi kalo aku pulang sekarang
ibu pasti nanya dimana tas aku terus aku harus jawab apa, aku pun mencari Soni
kesana kemari tapi tetap saja aku tidak menemukannya. Prustasi aku pada saat
itu dan akhirnya aku pun memutuskan untuk pulang saja ke rumah.
Di perjalanan menuju rumah, keluarlah Soni dari rumahnya
yang berdekatan dengan rumahku. Aku pun segera menghampirinya dan bertanya “Son
, mana tas aku ?” dengan nafas tersedak aku bertanya kepada Soni, dengan polos
soni menjawab “udah aku kasiin ke ibu kamu tadi pulang sekolah agama” mungkin
pada saat itu karena kami masih anak-anak jadi terkadang pikiran kami masih
polos. “kenapa kamu kasiin ke ibu aku, kan kata aku tunggu dulu di depan
madrasah nanti aku ambil tasku” marahku kepada Soni, dengan polos Soni kembali
menjawab “abisnya kamu lama sih, jadi aku pulang duluan terus nganterin tas
kamu ke rumah kamu, kirain kamu udah pulang ke rumah”. “bego !! terus apa kata
ibuku ?” rasa takutku pun mulai muncul. “ya dia nanyain Sururnya kemana Son ?,
ya aku jawab maen bola tadi bu sama teman-temannya. Udah ya aku lagi disuruh
nih sama bapa aku beli rokok” Soni pun berjalan menuju warung.
Aku pun berjalan menuju rumah sambil memikirkan alasan apa
yang harus aku buat kalo nanti ibu nanya aku, sampailah aku ke depan rumah dan
disana sudah ada ibu yang sedang mengasuh adikku di halaman rumah, “Surur sini
!!” ibu memanggilku dan aku pun berjalan menuju ke arah ibu , “iya bu” tanyaku
sambil terus memikirkan apa yang harus aku katakan, “dari mana ? kenapa jam
segini baru pulang ? kenapa tas dititipin ke si Soni ? kata Soni tadi pergi
maen bola bener gak ? berarti tadi gak masuk sekolah agama ?” bertubi-tubi
pertanyaan dari ibu membuat aku semakin kebingungan. “oh iya bu tadi sekolah
agama pulang lebih cepet, jadi aku maen bola dulu terus tas dititipin ke Soni,
aku mandi dulu ya” jawabku sambil berlari mengambil anduk lalu menuju ke kamar
mandi dan ibu pun hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
Setelah kejadian itu karena sudah merasa aman dengan situasi
seperti itu aku pun terus mengulanginya sampai akhirnya pada suatu hari ketika
aku memutuskan tidak sama sekali pergi ke madrasah tapi langsung ke lapangan
bola, sepertinya ibu mulai curiga denganku karena setiap pulang sekolah agama
baju dan celanaku selalu kotor. Pada saat itu ibu pergi ke madrasah untuk
mengecek apakah aku ada di madrasah atau tidak dan sesampainya di madrasah ibu
tidak melihatku kemudian ibu pun bertanya kepada guru sekolah agama “bu, surur
kemana ya ?” tanya ibu, “dia gak masuk hari ini bu, dan akhir-akhir ini dia
sering permisi untuk buang air tapi gak pernah balik lagi ke madrasah” jawab
ibu guru sekolah agama. “oh begitu ya bu, saya minta maaf karena kelakuan anak
saya itu bu. Kalo begitu saya izin pamit dulu untuk mencarinya bu” ibu pun
pergi dari madrasah untuk mencariku.
Alangkah kagetnya aku pada saat itu, ketika itu aku sedang
asik bermain bola bersama teman-teman tiba-tiba ada suara yang memanggilku
“surur !! surur !! pulang !!”, ketika aku melihat ke luar lapangan ternyata ibu
yang berteriak memanggilku. Pada saat itu aku merasa sangat bersalah kepada
teman-temanku karena selain memarahiku,ibu juga memarahi teman-temanku sebab
ibu beranggapan bahwa mereka yang memaksaku untuk tidak sekolah agama dan malah
bermain,padahal akulah yang memang sudah berniat untuk tidak pergi ke madrasah
dan bermain bola. Setelah kejadian itu setiap hari aku pergi ke madrasah
diantar oleh ibu dan ibu pun menunggu di warung sekitaran madrasah sampai aku
selesai sekolah agama dan langsung menjemputku untuk pulang ke rumah. Mungkin
karena kenakalan ku sendiri itulah yang menyebabkan aku sangat sulit untuk bisa
bermain bersama teman-temanku lagi.