Sabtu, 27 Desember 2014

Saudara Yang Terlukai

Pada suatu hari, seperti biasa aku dan keluargaku berangkat ke rumah saudara yang berada diluar kota untuk sekedar bersilaturahmi dan sambil refreshing diakhir pekan. Waktu itu aku berkunjung ke rumah kakak dari ibuku yang berada di bandung, kakak dari ibuku ini memiliki dua orang anak. Anak yang pertama adalah seorang perempuan yang berusia lebih tua dariku sekitar 4 tahun, namanya adalah teteh ine, dan anak yang kedua seumuran denganku, namanya adalah fajar. Pada saat itu aku baru berumur 5 tahun dan belum sekolah, sementara fajar yang berusia sama denganku tapi badannya memang lebih besar dariku dan pada saat itu sudah mulai sekolah di taman kanak-kanak sehingga dia selalu merasa lebih tua dan merasa lebih tahu segalanya di banding aku.
Hari itu aku dan keluarga berangkat subuh dari rumah agar dapat sampai di bandung pagi hari dan waktu yang dihabiskan bersama keluarga lebih lama. Sesampainya di rumah kakak dari ibuku aku langsung diajak bermain oleh saudaraku fajar, dan dia pun mengajak ku memancing di sebuah sungai di dekat komplek rumahnya. Pada saat itu aku hanya mengikuti saja apa yang dia katakan karena itu pertama kalinya aku memancing di sungai sehingga aku tidak tahu cara memancing di sungai, tapi aku sering memancing di kolam di belakang rumah bersama ayah sehingga aku pun tahu hal-hal apa saja yang harus dilakukan ketika memancing. Kami pun menghabiskan waktu hingga jam 9 di sungai dengan hasil pancingan beberapa ikan betok dan seekor ikan lele.
Selesai memancing fajar mengajak ku pulang dulu ke rumahnya untuk makan, kemudian kami menonton film kartun yang pada waktu itu hanya ditayangkan pada akhir minggu saja sehingga sayang untuk melewatkannya. Mungkin karena masih anak-anak pada saat menonton kami pun tertidur karena kecapean telah memancing dan mungkin karena perut yang kenyang sehingga memudahkan kami untuk tertidur.
Sekitar jam setengah satu siang kami pun terbangun karena ada beberapa teman satu komplek fajar yang datang ke rumah fajar untuk mengajak bersepeda keliling komplek. Aku yang pada saat itu memang belum terlalu cukup tinggi, tapi aku sudah pandai mengendarai sepeda karena dirumah pun aku sudah di belikan sepedah oleh ayah bahkan sepedah yang aku miliki lebih tinggi daripada sepeda yang fajar punya, namun karena fajar yang merasa lebih tua dan merasa lebih tahu segalanya disbanding aku tidak mengizinkan aku untuk mengendarai sepedanya dengan sangat kecewa aku pun hanya dibonceng olehnya untuk mengelilingi komplek dengan sepeda. Disinilah emosiku mulai timbul kepada fajar dan berfikiran untuk memukulnya, tapi pada saat itu mungkin karena aku tidak memiliki keberanian karena ada teman-teman komplek fajar yang mungkin akan membantunya apabila kami berkelahi.
Karena sudah lelah fajar dan teman-temannya memutuskan untuk pulang kerumah masing-masing dan bertemu kembali jam 4 untuk bermain bola di lapangan di depan rumah fajar. “Hah sepak bola?” yang terlintas dipikiranku saat itu adalah ini adalah saatnya untuk menunjukan bahwa aku lebih baik darinya, karena dari umurku 2 tahun aku sudah menyukai sepak bola dan mulai diajarkan oleh ayahku cara bermain bola, dan di rumahku aku sering bermain sepak bola bersama teman-teman sebayaku, dan bahkan orang yang lebih tua dan besar dariku. Pada saat itu keahlianku bermain sepak bola memang lebih menonjol ketimbang teman-teman sepantaran di rumahku ini yang membuat aku semakin yakin dapat membalas kekesalanku kepada fajar yang menganggap aku tidak bisa mengendarai dan tidak meminjamkan sepedahnya kepadaku.
Waktu sudah menunjukan jam setengah 4 sore , dan satu persatu teman-teman fajar pun sudah mulai berdatangan ke lapangan yang berada tepat di depan rumah fajar, aku pun tidak sabar untuk segera memulai permainan dan ingin segera menunjukan kemampuanku. Pada saat itu anak-anak yang berkumpul di lapangan ada 15 orang termasuk aku, karena pada saat itu mungkin karena aku yang paling kecil diantara mereke semua sehingga fajar menyuruhku untuk menunggu dipinggir lapangan untuk menjadi pemain pengganti karena jumlah pemain yang sudah pas , satu tim terdiri dari 7 orang. Aku yang pada saat itu sudah berada di tengah lapangan, dan berharap dapat menunjukan kemampuanku bermain sepak bola dengan berat hati berjalan kepinggir lapangan dengan meneteskan air mata karena emosi yang kupendam sudah tidak bisa aku tahan lagi.
Ayah yang melihat kejadian itu dari halaman rumah fajar langsung menghampiriku dan berkata , “kenapa kamu menangis ?”. Dengan terbata-bata aku berkata “pe…..ngen  pu….lang” sambil membasuh air mata aku menarik ayah untuk segera menuju mobil dan pulang. Namun ayah tak beranjak sedikit pun dan berkata “masa jagoan nangis, udah diem disini liat yang main bola siapa tau ada yang kecapean minta diganti nah nanti kamu bisa ikutan bermain juga”. Sedikit demi sedikit air mataku pun mulai berhenti keluar namun emosiku pada saat itu masih sangat tinggi sehingga sulit rasanya untuk berbicara karena mungkin emosi yang membuat dadaku menjadi sesak.
Setelah permainan berjalan sekitar 15 menit salah seorang teman fajar dijemput oleh orang tuanya karena mungkin ada keperluan, aku pun di dorong oleh ayah ke lapangan untuk ikut bermain bersama fajar dan teman-temannya. Aku yang pada saat itu bertelanjang kaki mulai memasuki lapangan dan aku mendapatkan tim yang berlawanan dengan fajar, sehingga kami saling bermusuhan dalam permainan ini. Fajar dan beberapa temannya pada saat itu menggunakan sepatu namun itu tidak mengecilkan semangatku untuk tetap bermain.
Di awal-awal permainan aku tidak mendapatkan bola karena teman se-teamku mungkin tidak percaya bila bola di oper ke anak seperti aku, hingga akhirnya aku berhasil merebut bola yang pada saat itu sedang di bawa oleh fajar dan membawanya ke arah gawang dengan melawati beberapa pemain dan mencetak gol pertamaku. Setelah itu teman-teman satu team mulai mempercaiku dan mulai memberikan beberapa operan kepadaku dan aku pun mencetak beberapa gol dan berhasil menunjukan bahwa aku memang memang memiliki kemampuan.
Setelah mencetak 5 gol aku pun merasa puas dan emosiku pun mulai mereda, tapi itu semua tidak berlangsung lama samapai ketika aku mendapatkan bola dan berusaha untuk membawanya ke gawang lawan pada saat itu fajar berusaha menjagaku, Fajar memang memiliki fisik dan teknik yang lebih dibanding teman-temannya namun itu belum cukup untuk menghentikanku dan aku pun berhasil melewatinya dan bersiap menendang bola ke arah gawang yang sudah ada di depanku. Tetapi ketika hendak menendang bola aku mendapat terjangan yang keras dari belakang sehingga membuatku terjatuh dan mengalami beberapa luka lecet dan lututku pun mengeluarkan darah karena terbentur akibat terjatuh tadi. Aku pun melihat kebelakang untuk mengetahui siapa yang telah menerjangku , dan alangkah kagetnya aku ketika melihat bahwa Fajarlah yang telah menerjangku dan berkata “itu bukan pelanggaran , ayo teruskan permainan”. Emosi yang tadinya sudah mereda kembali membara karena perbuatan dan perkataan yang telah Fajar lakukan terhadapku.
Aku pun kembali berdiri dan melanjutkan permainan dengan menahan rasa sakit yang terasa , ayah pun menyuruhku untuk berhenti bermain dan segera mandi untuk membersihkan luka lalu pulang. Tapi karena emosi , aku tidak menghiraukan ayah dan masih melanjutkan permainan, karena luka yang aku dapatkan membuat aku tidak dapat bergerak maksimal lagi dan hanya berlari mengejar-ngejar bola karena emosi. Sampai pada akhirnya lawan mengoper bola tersebut kepada Fajar dan dia pun tidak mengopernya kepada temannya lagi malah membawa bola tersebut ke arahku , mungkin pada saat itu dia berfikiran akan mudah untuk melewatiku karena aku sudah terluka. Karena emosi yang sudah memuncak aku tidak berfikir panjang ketika Fajar berusaha melewatiku bukannya berusaha untuk merebut bola tapi yang terlintas dipikiranku pada saat itu “Pukul !!!” dan aku pun langsung memukul tepat di wajah fajar dan pukulanku mengenai matanya dan dia pun terjatuh.
Pada saat itu semua yang ada lapangan terdiam karena apa yang telah aku lakukan, dan setelah itu aku pun berjalan untuk meninggalkan lapangan dengan tujuan untuk mandi di rumah fajar lalu pulang. Namun belum sempat aku meninggalkan lapangan , Fajar pun terbangun dan berlari kearahku dan berusaha untuk memukulku. Fajar yang badannya memang lebih besar dari pada aku berhasil menjatuhkanku namun pukulannya tadi tidak masuk ke wajahku karena aku berhasil menahannya dan memegangi tangannya sehingga kami terjatuh. Saat itu aku menengok ke arah ayah dan berharap ayah melerai kami, namun apa yang terjadi ayah malah berbalik arah dan masuk menuju rumah, aku tidak tahu apa yang dipikirkan ayah pada saat itu bukannya menolongku dengan melerai perkelahian kami. Fajar pun menggempurku dengan beberapa pukulan yang masuk ke wajahku, karena pada saat itu mungkin karena faktor badan fajar yang lebih besar daripada badanku sehingga dia berada diatasku dan sangat sulit untuk membalikannya. Setelah mendapat beberapa pukulan aku pun mulai kehilangan kesadaran namun entah mengapa aku berhasil memegang tangan sebelah kanan fajar dan menahannya sehingga hanya tangan kirinya yang terus memukuliku. Tanpa berfikir panjang lagi aku pun langsung menggigit tangan fajar karena sudah tidak sanggung lagi untuk menahan pukulan dari fajar , aku menggigit dengan sekuat tenaga dan pukulan fajar pun mulai berhenti. Tapi gigitanku tidak aku lepaskan sampai fajar berteriak memanggil orang tuanya dan keluarlah orang tua fajar dan orang tuaku yang pada saat itu berada di dalam rumah fajar. Ayah langsung berlari ke arahku dan ayah lah yang pertama memisahkan kami dan aku pun melepaskan gigitanku.
Aku pun babak belur dibuatnya, namun yang membuatku puas pada saat itu ketika melihat tangan Fajar yang tadi aku gigit mengeluarkan darah secara terus-menerus dan nampaknya luka yang telah aku hasilkan sangatlah parah. Karena darah yang terus keluar dari tangan Fajar, akhirnya dia pun dilarikan ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut, dan alhasil Fajar pun mendapatkan 6 jahitan di tangan kanannya karena gigitan yang aku hasilkan. Setelah mengantar Fajar ke rumah sakit, ayah meminta maaf kepada orang tua Fajar yang tidak lain merupakan kakak dari ibuku atas apa yang telah aku perbuat kepada Fajar.
Hari sudah malam dan kami pun kembali menuju rumah, niat yang tadinya ingin bersilaturahmi tapi karena kesalahan yang telah aku perbuat semuanya malah menjadi kacau. Ketika di dalam mobil di perjalanan menuju rumah, aku duduk dikursi depan dan ibu duduk dikursi belakang karena membawa adikku yang pada saat itu masih balita dan sedang tertidur, aku bertanya kepada ayah, “kenapa ayah tidak menolongku atau membantuku pada saat itu ? padahalkan ayah bisa meleraiku, jadi kan gak bakal gini jadinya” Tanyaku kepada ayah yang saat itu sedang fokus menyetir sambil merokok. “oh itu, ayah tidak meleraimu karena ayah tidak mau mencampuri urusanmu, jika kamu dihadapkan dengan sebuah masalah yang telah kamu buat,jangan pernah lari dari masalah itu karena itu akan membuat masalah yang ada tidak akan pernah selesai, hadapilah semua masalah yang telah kamu ciptakan agar masalah itu terselsaikan” jawab ayah sambil tersenyum kepadaku.

Pada hari itu aku mendapat pelajaran berharga dari ayahku yang kemudian semakin membuat aku berani melakukan hal-hal yang aku sukai meskipun itu salah tapi aku selalu siap untuk menghadapi masalah yang telah aku buat itu.

Jumat, 26 Desember 2014

SickSurur

Aku adalah seorang anak yang di besarkan di sebuah wilayah yang bias di bilang rawan pelanggaran hukum, kenapa di bilang rawan soalnya di wilayah tempat aku di besarkan dapat di bilang sebagai salah satu kawasan preman yang ada di kota tempat aku tinggal. Mulai dari peredaran narkoba hingga kelompok preman serta kelompok gank motor ada di wilayah tempat aku di besarkan. Mungkin ini adalah sebab mengapa orang-orang mengatakan bahwa aku dewasa sebelum waktunya. Aku telah melihat berbagai macam peristiwa yang terjadi sejak aku kecil, dan juga mengetahui berbagai macam hal yang seharusnya seorang anak kecil seumuranku waktu itu belum mengetahuinya.
Namaku Surur tapi orang- orang biasa memanggilku “SickSurur” yang mungkin bila diartikan Surur sakit, atau Surur gila. Panggilan ini mungkin diberikan kepadaku karena kegilan yang selalu ku perbuat semenjak aku kecil. Namun ,walaupun banyak hal gila atau sesuatu yang tidak wajar telah aku lakukan tapi aku selalu memiliki cita-cita yang membuat aku bersemangat dalam menjalani hidup ini. Cita-citaku selalu berubah – ubah sejak aku kecil hingga kini aku beranjak dewasa , mungkin karena pemikiran atau pengetahuan yang aku dapatkan dari hari ke hari yang semakin meluas.
 Aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Aku dilahirkan dikeluarga yang tidak kaya raya namun berkecukupan, ayahku bekerja sebagai salah satu karyawan disebuah badan usaha milik Negara dan sementara ibuku hanya seorang ibu rumah tangga. Adik pertamaku lahir ketika usiaku menginjak 4 tahun, dia adalah seorang laki-laki yang sering menjadi korban dari beberapa kegilaanku. Adik keduaku lahir ketika aku mulai beranjak dewasa, waktu itu aku berusia 17 tahun , dan dia adalah seorang perempuan yang akan kujaga sampai akhir hidupku selain ibuku.
Aku memiliki seorang ayah yang bisa dikatakan papa rock’n roll, dan memiliki seorang ibu yang sangat menyayangi keluarganya. Dari kecil cita-citaku yang tidak pernah berubah sampai saat ini adalah “aku harus bisa melebihi apa yang telah ayahku capai”. Oleh karena itu aku selalu berusaha untuk memulai untuk menghasilkan sesuatu semenjak aku kecil. Ayahku selalu ingin anaknya menjadi lebih baik dari dirinya karena dulu dia memiliki masa lalu sebagai anak yang nakal, mungkin karena ayahku juga dibesarkan di wilayah yang sama denganku. Aku selalu ingat kata-kata yang selalu dikatakan oleh ibuku ketika memarahiku, “buah tidak jatuh jauh dari pohonnya” itulah kata-kata yang selalu ada ketika ibuku memarahiku waktu aku kecil karena berbagai kesalahan yang telah aku buat. Dengan begitu aku dapat menyimpulkan bahwa kelakuanku sama dengan ayahku ketika ayahku masih kecil dan waktu ayahku masih muda.
Jadi ketika aku melakukan sesuatu yang mungkin menurut orang lain itu adalah sebuah kesalahan, ayahku sering mengerti ,dan tidak memarahiku seperti orang tua anak lain yang memarahi anaknya karena anaknya membuat kesalahan. Tapi hal ini juga yang mungkin membuat ayahku dapat mebaca pergerakanku bila aku melakukan kesalahan, sehingga ayahku menjadi salah satu orang yang sulit untuk aku bohongi selain ibuku. Ada sebuah kalimat yang membuat aku selalu menurut kepada ayahku, pada suatu hari aku pernah marah pada ayah karena selalu membatasi ruang gerakku dan aku berkata “ayah kaya yang gak pernah muda aja sih !!” dengan nada lantang dan berlari kearah kamarku , namun belum sempat sampai ke kamarku aku sudah berhenti berlari dan menangis karena kata-kata yang saat itu ayah katakana, ayah berkata “ayah mengerti perasaanmu tapi satu hal yang harus kamu tau nak, ayah juga pernah muda dan kamu belum pernah menjadi tua”. Itulah yang membuat aku selalu mengikuti apa yang ayah katakanya.