Pada suatu hari, seperti biasa aku dan keluargaku berangkat
ke rumah saudara yang berada diluar kota untuk sekedar bersilaturahmi dan
sambil refreshing diakhir pekan. Waktu itu aku berkunjung ke rumah kakak dari
ibuku yang berada di bandung, kakak dari ibuku ini memiliki dua orang anak.
Anak yang pertama adalah seorang perempuan yang berusia lebih tua dariku
sekitar 4 tahun, namanya adalah teteh ine, dan anak yang kedua seumuran
denganku, namanya adalah fajar. Pada saat itu aku baru berumur 5 tahun dan
belum sekolah, sementara fajar yang berusia sama denganku tapi badannya memang
lebih besar dariku dan pada saat itu sudah mulai sekolah di taman kanak-kanak
sehingga dia selalu merasa lebih tua dan merasa lebih tahu segalanya di banding
aku.
Hari itu aku dan keluarga berangkat subuh dari rumah agar
dapat sampai di bandung pagi hari dan waktu yang dihabiskan bersama keluarga
lebih lama. Sesampainya di rumah kakak dari ibuku aku langsung diajak bermain
oleh saudaraku fajar, dan dia pun mengajak ku memancing di sebuah sungai di
dekat komplek rumahnya. Pada saat itu aku hanya mengikuti saja apa yang dia
katakan karena itu pertama kalinya aku memancing di sungai sehingga aku tidak
tahu cara memancing di sungai, tapi aku sering memancing di kolam di belakang
rumah bersama ayah sehingga aku pun tahu hal-hal apa saja yang harus dilakukan
ketika memancing. Kami pun menghabiskan waktu hingga jam 9 di sungai dengan
hasil pancingan beberapa ikan betok dan seekor ikan lele.
Selesai memancing fajar mengajak ku pulang dulu ke rumahnya
untuk makan, kemudian kami menonton film kartun yang pada waktu itu hanya
ditayangkan pada akhir minggu saja sehingga sayang untuk melewatkannya. Mungkin
karena masih anak-anak pada saat menonton kami pun tertidur karena kecapean
telah memancing dan mungkin karena perut yang kenyang sehingga memudahkan kami
untuk tertidur.
Sekitar jam setengah satu siang kami pun terbangun karena
ada beberapa teman satu komplek fajar yang datang ke rumah fajar untuk mengajak
bersepeda keliling komplek. Aku yang pada saat itu memang belum terlalu cukup
tinggi, tapi aku sudah pandai mengendarai sepeda karena dirumah pun aku sudah
di belikan sepedah oleh ayah bahkan sepedah yang aku miliki lebih tinggi
daripada sepeda yang fajar punya, namun karena fajar yang merasa lebih tua dan
merasa lebih tahu segalanya disbanding aku tidak mengizinkan aku untuk
mengendarai sepedanya dengan sangat kecewa aku pun hanya dibonceng olehnya
untuk mengelilingi komplek dengan sepeda. Disinilah emosiku mulai timbul kepada
fajar dan berfikiran untuk memukulnya, tapi pada saat itu mungkin karena aku
tidak memiliki keberanian karena ada teman-teman komplek fajar yang mungkin
akan membantunya apabila kami berkelahi.
Karena sudah lelah fajar dan teman-temannya memutuskan untuk
pulang kerumah masing-masing dan bertemu kembali jam 4 untuk bermain bola di
lapangan di depan rumah fajar. “Hah sepak bola?” yang terlintas dipikiranku
saat itu adalah ini adalah saatnya untuk menunjukan bahwa aku lebih baik
darinya, karena dari umurku 2 tahun aku sudah menyukai sepak bola dan mulai
diajarkan oleh ayahku cara bermain bola, dan di rumahku aku sering bermain
sepak bola bersama teman-teman sebayaku, dan bahkan orang yang lebih tua dan
besar dariku. Pada saat itu keahlianku bermain sepak bola memang lebih menonjol
ketimbang teman-teman sepantaran di rumahku ini yang membuat aku semakin yakin
dapat membalas kekesalanku kepada fajar yang menganggap aku tidak bisa
mengendarai dan tidak meminjamkan sepedahnya kepadaku.
Waktu sudah menunjukan jam setengah 4 sore , dan satu
persatu teman-teman fajar pun sudah mulai berdatangan ke lapangan yang berada
tepat di depan rumah fajar, aku pun tidak sabar untuk segera memulai permainan
dan ingin segera menunjukan kemampuanku. Pada saat itu anak-anak yang berkumpul
di lapangan ada 15 orang termasuk aku, karena pada saat itu mungkin karena aku
yang paling kecil diantara mereke semua sehingga fajar menyuruhku untuk
menunggu dipinggir lapangan untuk menjadi pemain pengganti karena jumlah pemain
yang sudah pas , satu tim terdiri dari 7 orang. Aku yang pada saat itu sudah
berada di tengah lapangan, dan berharap dapat menunjukan kemampuanku bermain
sepak bola dengan berat hati berjalan kepinggir lapangan dengan meneteskan air
mata karena emosi yang kupendam sudah tidak bisa aku tahan lagi.
Ayah yang melihat kejadian itu dari halaman rumah fajar
langsung menghampiriku dan berkata , “kenapa kamu menangis ?”. Dengan
terbata-bata aku berkata “pe…..ngen
pu….lang” sambil membasuh air mata aku menarik ayah untuk segera menuju
mobil dan pulang. Namun ayah tak beranjak sedikit pun dan berkata “masa jagoan
nangis, udah diem disini liat yang main bola siapa tau ada yang kecapean minta
diganti nah nanti kamu bisa ikutan bermain juga”. Sedikit demi sedikit air
mataku pun mulai berhenti keluar namun emosiku pada saat itu masih sangat
tinggi sehingga sulit rasanya untuk berbicara karena mungkin emosi yang membuat
dadaku menjadi sesak.
Setelah permainan berjalan sekitar 15 menit salah seorang
teman fajar dijemput oleh orang tuanya karena mungkin ada keperluan, aku pun di
dorong oleh ayah ke lapangan untuk ikut bermain bersama fajar dan
teman-temannya. Aku yang pada saat itu bertelanjang kaki mulai memasuki
lapangan dan aku mendapatkan tim yang berlawanan dengan fajar, sehingga kami
saling bermusuhan dalam permainan ini. Fajar dan beberapa temannya pada saat
itu menggunakan sepatu namun itu tidak mengecilkan semangatku untuk tetap
bermain.
Di awal-awal permainan aku tidak mendapatkan bola karena
teman se-teamku mungkin tidak percaya bila bola di oper ke anak seperti aku,
hingga akhirnya aku berhasil merebut bola yang pada saat itu sedang di bawa
oleh fajar dan membawanya ke arah gawang dengan melawati beberapa pemain dan
mencetak gol pertamaku. Setelah itu teman-teman satu team mulai mempercaiku dan
mulai memberikan beberapa operan kepadaku dan aku pun mencetak beberapa gol dan
berhasil menunjukan bahwa aku memang memang memiliki kemampuan.
Setelah mencetak 5 gol aku pun merasa puas dan emosiku pun
mulai mereda, tapi itu semua tidak berlangsung lama samapai ketika aku
mendapatkan bola dan berusaha untuk membawanya ke gawang lawan pada saat itu
fajar berusaha menjagaku, Fajar memang memiliki fisik dan teknik yang lebih
dibanding teman-temannya namun itu belum cukup untuk menghentikanku dan aku pun
berhasil melewatinya dan bersiap menendang bola ke arah gawang yang sudah ada
di depanku. Tetapi ketika hendak menendang bola aku mendapat terjangan yang
keras dari belakang sehingga membuatku terjatuh dan mengalami beberapa luka
lecet dan lututku pun mengeluarkan darah karena terbentur akibat terjatuh tadi.
Aku pun melihat kebelakang untuk mengetahui siapa yang telah menerjangku , dan
alangkah kagetnya aku ketika melihat bahwa Fajarlah yang telah menerjangku dan
berkata “itu bukan pelanggaran , ayo teruskan permainan”. Emosi yang tadinya
sudah mereda kembali membara karena perbuatan dan perkataan yang telah Fajar
lakukan terhadapku.
Aku pun kembali berdiri dan melanjutkan permainan dengan
menahan rasa sakit yang terasa , ayah pun menyuruhku untuk berhenti bermain dan
segera mandi untuk membersihkan luka lalu pulang. Tapi karena emosi , aku tidak
menghiraukan ayah dan masih melanjutkan permainan, karena luka yang aku
dapatkan membuat aku tidak dapat bergerak maksimal lagi dan hanya berlari
mengejar-ngejar bola karena emosi. Sampai pada akhirnya lawan mengoper bola
tersebut kepada Fajar dan dia pun tidak mengopernya kepada temannya lagi malah
membawa bola tersebut ke arahku , mungkin pada saat itu dia berfikiran akan
mudah untuk melewatiku karena aku sudah terluka. Karena emosi yang sudah
memuncak aku tidak berfikir panjang ketika Fajar berusaha melewatiku bukannya
berusaha untuk merebut bola tapi yang terlintas dipikiranku pada saat itu
“Pukul !!!” dan aku pun langsung memukul tepat di wajah fajar dan pukulanku
mengenai matanya dan dia pun terjatuh.
Pada saat itu semua yang ada lapangan terdiam karena apa
yang telah aku lakukan, dan setelah itu aku pun berjalan untuk meninggalkan
lapangan dengan tujuan untuk mandi di rumah fajar lalu pulang. Namun belum
sempat aku meninggalkan lapangan , Fajar pun terbangun dan berlari kearahku dan
berusaha untuk memukulku. Fajar yang badannya memang lebih besar dari pada aku berhasil
menjatuhkanku namun pukulannya tadi tidak masuk ke wajahku karena aku berhasil
menahannya dan memegangi tangannya sehingga kami terjatuh. Saat itu aku
menengok ke arah ayah dan berharap ayah melerai kami, namun apa yang terjadi
ayah malah berbalik arah dan masuk menuju rumah, aku tidak tahu apa yang
dipikirkan ayah pada saat itu bukannya menolongku dengan melerai perkelahian
kami. Fajar pun menggempurku dengan beberapa pukulan yang masuk ke wajahku,
karena pada saat itu mungkin karena faktor badan fajar yang lebih besar
daripada badanku sehingga dia berada diatasku dan sangat sulit untuk membalikannya.
Setelah mendapat beberapa pukulan aku pun mulai kehilangan kesadaran namun
entah mengapa aku berhasil memegang tangan sebelah kanan fajar dan menahannya
sehingga hanya tangan kirinya yang terus memukuliku. Tanpa berfikir panjang
lagi aku pun langsung menggigit tangan fajar karena sudah tidak sanggung lagi
untuk menahan pukulan dari fajar , aku menggigit dengan sekuat tenaga dan pukulan
fajar pun mulai berhenti. Tapi gigitanku tidak aku lepaskan sampai fajar
berteriak memanggil orang tuanya dan keluarlah orang tua fajar dan orang tuaku
yang pada saat itu berada di dalam rumah fajar. Ayah langsung berlari ke arahku
dan ayah lah yang pertama memisahkan kami dan aku pun melepaskan gigitanku.
Aku pun babak belur dibuatnya, namun yang membuatku puas pada
saat itu ketika melihat tangan Fajar yang tadi aku gigit mengeluarkan darah
secara terus-menerus dan nampaknya luka yang telah aku hasilkan sangatlah
parah. Karena darah yang terus keluar dari tangan Fajar, akhirnya dia pun
dilarikan ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut, dan
alhasil Fajar pun mendapatkan 6 jahitan di tangan kanannya karena gigitan yang
aku hasilkan. Setelah mengantar Fajar ke rumah sakit, ayah meminta maaf kepada
orang tua Fajar yang tidak lain merupakan kakak dari ibuku atas apa yang telah
aku perbuat kepada Fajar.
Hari sudah malam dan kami pun kembali menuju rumah, niat
yang tadinya ingin bersilaturahmi tapi karena kesalahan yang telah aku perbuat
semuanya malah menjadi kacau. Ketika di dalam mobil di perjalanan menuju rumah,
aku duduk dikursi depan dan ibu duduk dikursi belakang karena membawa adikku
yang pada saat itu masih balita dan sedang tertidur, aku bertanya kepada ayah,
“kenapa ayah tidak menolongku atau membantuku pada saat itu ? padahalkan ayah
bisa meleraiku, jadi kan gak bakal gini jadinya” Tanyaku kepada ayah yang saat
itu sedang fokus menyetir sambil merokok. “oh itu, ayah tidak meleraimu karena
ayah tidak mau mencampuri urusanmu, jika kamu dihadapkan dengan sebuah masalah yang
telah kamu buat,jangan pernah lari dari masalah itu karena itu akan membuat
masalah yang ada tidak akan pernah selesai, hadapilah semua masalah yang telah
kamu ciptakan agar masalah itu terselsaikan” jawab ayah sambil tersenyum
kepadaku.
Pada hari itu aku mendapat pelajaran berharga dari ayahku
yang kemudian semakin membuat aku berani melakukan hal-hal yang aku sukai
meskipun itu salah tapi aku selalu siap untuk menghadapi masalah yang telah aku
buat itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar